Teror dan Terorisme dalam Gerakan Zionisme

“At Basle I founded the Jewish State…Perhaps in five years, and certainty in fifty, everyone will know it.”
(Di Basel saya mendirikan negara Yahudi…Barangkali dalam waktu lima tahun, dalam lima puluh tahun, tiap o rang akan mengetahui itu) THEODOR HERZL, Pendiri Zionisme (1860-1904)

“Kita harus melakukan segala upaya untuk menjamin agar mereka (pengungsi Arab-Palestina)

tidak akan pernah kembali (ke Palestina).” BEN GURION, Mantan Perdana Menteri Israel

A. Klaim Teologis dan Historis atas Palestina
Pemerintah Israel dalam sumber resminya mencatat bahwa sejarah bangsa Yahudi (The Jewish People) dimulai sejak sekitar 4000 tahun lalu dengan tokoh utama Ibrahim (Abraham), Ishak (Isaac), dan Ya’kub (Jacob), yang juga dikenal dengan nama Israel. Dalam tulisan Ellen Hirsch, Facts about Israel, yang diterbitkan oleh Israel Information Center, menyatakan bahwa berdirinya negara Israel telah menghapus 2000 tahun impian bangsa Yahudi untuk kembali ke tanah leluhur mereka: ”The Establishment of Israel (1948) grew out their 2.000 year-old to return to their ancestral homeland its national life and sovereignty.”

Sumber ini juga membagi perjalanan bangsa Israel ke dalam 15 periode, yaitu: Pertama, masa Ibrahim (Abraham), Ishak (Isaac), dan Ya’kub (Jacob), sekitar abad ke-17 SM. Kedua, masa eksodus dari Mesir di bawah pimpinan Musa dan menetap di ”Tanah Israel” yang dikatakan sebagai Land of Israel/Eretz Israel (sekitar abad ke-13 sd. 12 SM). Ketiga, masa kerajaan Saul, Daud (David), dan Sulaiman (Solomon) sekitar tahun 1020-930 SM. Di masa Sulaiman inilah didirikan ”Kuil Sulaiman” (The Solomon Temple) yang menjadi pusat kehidupan keagamaan masyarakat Yahudi. Keempat, masa terpecah-belahnya kerajaan Daud-Sulaiman menjadi sekitar 40 kerajaan. Di masa inilah kerajaan Babilonia menaklukkan Kerajaan Judah dan mengusir sebagian besar penduduknya serta menghancurkan ”Kuil Sulaiman” (586 SM). Kelima, masa pengusiran pertama oleh Babilonia (585-538 SM). Pengusiran ini menandai dimulai diaspora kaum Yahudi (The Jewish Diaspora). Keenam, masa pendudukan Persia dan masa Hellenisme (538-142 SM). Ketujuh, masa dinasti Hasmonean (142-63 SM). Kedelapan, masa kekuasaan Romawi (63 SM-313 M). Kesembilan, masa pemerintahan Bizantine (313-636 M). Kesepuluh, masa pemerintahan Arab (636-1099 M). Kesebelas, masa pemerintahan Tentara Salib (1099-1291 M). Keduabelas, masa pemerintahan Mamluk (1291-1516 M). Ketigabelas, masa pemerintahan Ottoman (1517-1917 M). Keempatbelas, masa pemerintahan Inggris (1918-1948 M). Kelimabelas, berdirinya negara Israel (14 Mei 1948).

Dari sumber resmi pemerintah Israel ini kita melihat bahwa Israel berusaha agar eksistensinya dikaitkan dengan klaim-klaim yang ada dalam teologi, sekaligus dalam sejarah. Klaim teologis ini berawal dari kisah Abraham yang diklaim sebagai leluhur Israel. Cerita-cerita tentang leluhur ini, yang terdapat dalam Perjanjian Lama menurut David F. Hinson, bukanlah suatu cerita sejarah, tetapi hanya suatu legenda. Cerita-cerita ini bukanlah laporan-laporan yang ditulis segera setelah peristiwa itu terjadi, tetapi baru ditulis beberapa abad kemudian setelah Abraham meninggal.

Kisah tentang Abraham terdapat dalam Kejadian 12-25. Kisah itu dimulai dengan perintah dan janji Allah kepada Abraham dan terus berlangsung sampai penggenapannya. Allah memerintahkan Abraham, “Pergilah ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu” (Kejadian 12: 1). Allah juga berjanji kepada Abraham, “Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar.” (Kejadian 12: 2). Abraham kemudian diperintahkan pergi ke tanah Palestina dan Tuhan menyakinkannya bahwa negara itu akan menjadi milik turunannya. Tanah Palestina itulah yang disebut sebagai “tanah yang dijanjikan” (The Promised Land) atau Israel Raya (Eretz Israel).

Klaim teologis ini kemudian dijadikan alasan oleh tokoh zionis untuk mendirikan negara di Palestina. Dalam deklarasi negara Israel tahun 1948 tertulis, “By virtue of our natural and historic right…(we) do hereby proclaim the establishment of a Jewish State in the Land of Israel—The State of Israel (Atas dasar hak alamiah dan hak historis kita…dengan ini (kami) memproklamasikan berdirinya sebuah negara Yahudi di Tanah Israel—Negara Israel).

Selain itu, permasalahan batas wilayah negara Israel, juga tidak ditentukan secara jelas. Mengikuti klaim teologis, tokoh-tokoh zionis menggariskan bahwa wilayah Israel Raya membentang dari “Hulu Mesir sampai ke Eufrat.”

Klaim teologis di atas oleh Paul Findley dan Roger Garaudy kemudian dibongkar kepalsuannya. Dalam catatan sejarah, ternyata bangsa Yahudi bukanlah penduduk pertama di tanah Palestina. Mereka juga tidak memerintah di sana selama masa pemerintahan bangsa-bangsa lain. Pada ahli arkeologi modern kini secara umum sepakat bahwa bangsa Mesir dan Kanaan telah mendiami tanah Palestina sejak masa-masa paling kuno sekitar 3000 SM hingga 1700 SM. Selanjutnya, datang penguasa-penguasa lain seperti bangsa Hyokos, Hittite, dan Filistin.

Mengutip Charles Foster Kent, sejarawan Mesir Ahmad Syalabi mencatat bahwa bangsa Phoenix adalah yang pertama kali mendatangi kawasan Palestina, sekitar 3000 SM. Kedatangan mereka disusul oleh kabilah Kanaan (2500 SM), kemudian datang kabilah Palestin dari Pulau Kreta (1200 SM). Hasil pencampuran antara kabilah Palestin dan kabilah Kanaan itu kemudian melahirkan generasi baru yang berketurunan darah Arab dengan menggunakan dialeg bangsa Semit. Sementara tempat kediaman mereka dikenal dengan nama “Negeri Palestina.”

Periode pemerintahan Yahudi baru dimulai pada 1020 SM dan berlangsung hingga 587 SM. Bangsa-bangsa Asyiria, Babylonia, Yunani dan Mesir menyerbu bangsa Yahudi. Pada tahun 587 SM, penguasa Babylonia Nebukadnezzar menyerbu Palestina dan memaksa bangsa Yahudi menyerah dan menjalani persebaran (diaspora). Yahudi Maccabean berhasil mengambil alih sebagian kekuasaan pada 164 SM. Tetapi, pada 63 SM, penguasa Romawi berhasil menaklukkan Jerussalem dan pada 70 M menghancurkan Kuil Kedua—dibangun pada 517 SM oleh Zerubbabel—dan kembali menimbulkan diáspora bangsa Yahudi. Jadi, bangsa Yahudi pernah menguasai Palestina atau sebagian besar darinya kurang dari 600 tahun dalam kurun waktu 5000 tahun sejarah Palestina. Dengan kata lain, bangsa Yahudi kuni lebih singkat mendiami wilayah Palestina dibandingkan dengan bangsa Kanaan, Mesir, Muslim atau Romawi.

Klaim-klaim di atas itulah yang kemudian dijadikan alasan oleh kaum zionis untuk kembali ke Palestina dengan berbagai cara, termasuk terorisme bagi orang Yahudi yang enggan kembali, dan bangsa Palestina sendiri.

B. Gerakan Zionisme Internasional
Zionisme berasal dari bahasa Ibrani ‘zion’ yang berarti batu karang. Maksudnya adalah merujuk kepada batu bangunan Haykal Sulaiman yang didirikan di atas sebuah bukit karang bernama ‘zion’, terletak di sebelah barat daya Al-Quds (Jerusalem). Bukit itu menempati kedudukan penting dalam agama Yahudi, karena menurut Taurat, “Al-Masih yang dijanjikan akan menuntun kaum Yahudi memasuki tanah yang dijanjikan. Dan Al-Masih akan memerintah dari atas puncak bukit Zion.” Kata zion sendiri dikemudian hari diidentikkan dengan kota suci Jerusalem itu sendiri.

“Zionism is the Jewish national movement,“ (Zionisme adalah gerakan nasional kaum Yahudi), begitu ditulis dalam situs zionismonthweb. Tapi, menurut Roger Garaudy, Zionisme sering didefinisikan oleh dirinya sendiri dalam tiga hal—bukan persoalan ‘national movement’ saja. Pertama, Doktrin Politik, seperti yang ditulis dalam Encyclopaedia of Zionisme and Israel, “Sejak tahun 1896, Zionisme berhubungan dengan gerakan politik yang didirikan oleh Theodor Herzl .” Kedua, Doktrin nasionalis tidak dilahirkan oleh Yudaisme, melaikan diambil dari nasionalisme Eropa abad ke-19. Herzl tidak menggalinya dari agama, seperti yang dikatakannya, ”Saya tidak patuh terhadap impulsi agama.” Atau di halaman 54 dalam Diaries-nya ia menulis, ”Saya seorang agnostik.” Ketiga, Doktrin kolonial. Herzl memulai dengan mendirikan sebuah badan yang mempunyai statuta di bawah perlindungan Inggris atau semua kekuatan politik lainnya, sambil menunggu penciptaan negara Yahudi. Olehnya, ia pun menyurati Cecil Rhodes yang berhasil memisahkan satu wilayah di Afrika Selatan untuk dijadikan negara dengan namanya sendiri: Rhodesia. Ketiga doktrin ini, menurut Garaudy merupakan ciri dari zionisme politik.

Saat ini gerakan zionisme bukan lagi berkutat pada ranah keagamaan, akan tetapi telah beralih ke makna politik. Maksudnya adalah “Suatu gerakan pulangnya ‘diaspora’ (terbuangnya) kaum Yahudi yang tersebar di seluruh dunia untuk kembali bersatu sebagai sebuah bangsa dengan Palestina sebagai tanah air bangsa Yahudi, dengan Jerusalem sebagai ibukota negaranya.” Istilah zionisme dalam makna politik ini dicetuskan oleh Nathan Bernbaum pada 1890 , namun sebelum ini Zionisme Internasional telah berdiri di New York pada 1 Mei 1776, dua bulan sebelum deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat di Philadelphia.

Gagasan ini kemudian mendapatkan dukungan dari Kaisar Napoleon Bonaparte ketika ia merebut dan menduduki Mesir. Untuk memperoleh bantuan keuangan dari kaum Yahudi, Napoleon pada 20 April 1799 mengambil hati dengan menyerukan, ”Wahai kaum Yahudi, mari membangun kembali Jerusalem lama.” Sejak itu, gerakan untuk kembali ke Jerusalem menjadi marak dan meluas. Yahuda Al-Kalai (1798-1878), adalah tokoh Yahudi pertama yang melontarkan gagasan pendirian sebuah negara Yahudi di Palestina. Gagasan kemudian didukung oleh Izvi Hirsch Kalischer (1795-1874) melalui bukunya yang ditulis dalam bahasa Ibrani ’Derishat Zion’ (1826) yang berisi studi tentang kemungkinan mendirikan negara Yahudi di Palestina.

Selanjutnya Moses Hess juga menulis buku dalam bahasa Jerman, berjudul ’Roma und Jerusalem’ (1862), yang berisi pemikiran tentang solusi ’masalah Yahudi’ di Eropa dengan cara mendorong migrasi orang Yahudi ke Palestina. Menurut Hess, kehadiran bangsa Yahudi di Palestina akan turut membantu memikul ”Missi suci orang kulit putih untuk mengadabkan bangsa-bangsa Asia yang masih primitif dan memperkenalkan peradaban Barat kepada mereka.” Buku ini memuat pemikiran awal kerjasama dan konspirasi Yahudi dengan Barat-Kristen menghadapi bangsa-bangsa Asia pada umumnya dan dunia Islam pada khususnya.

Untuk mendukung gagasan itu, tulis Z.A Maulani, sebuah organisasi mahasiswa Yahudi militan bernama ’Ahavat Zion’ berdiri di St. Petersburg, Rusia, pada 1818, yang menyatakan bahwa,”Setiap anak Israel mengakui bahwa tidak akan ada penyelamatan bagi Israel, kecuali mendirikan pemerintahan sendiri di Tanah Israel (’Erzt Israel’)”.

Untuk menopang pendanaannya, kaum Zionis juga mendapatkan bantuan dari Mayer Amschel Rotschild (1743-1812) dari Frankfurt, Jerman. Rotschild adalah keluarga Yahudi terkaya di dunia ketika itu. Selain, politisi Eropa juga mendukung gerakan ini, seperti Lloyd George (Perdana Menteri Inggris), Arthur Balfour (Menteri Luar Negeri Inggris), Herbert Sidebotham (tokoh Militer Inggris), Mark Sykes, Alfred Milner, Ormsby-Gore, Robert Cecil, J.S Smuts, dan Richard Meinerzhagen.

Sejak tahun 1882, Sultan Abdul Hamid II telah mengeluarkan dekrit bahwa orang Yahudi diizinkan untuk beremigrasi ke dalam wilayah kekuasaannya namun tidak mengizinkan untuk menetap di Palestina. Keputusan ini diambil karena menurut sultan, emigrasi kaum Yahudi di masa depan akan dapat membuahkan sebuah negara Yahudi. Walau ada titah dari Sultan, arus emigrasi itu tetap berhasil masuk ke Palesitna bahkan dengan cara sogok. Pada 1891, beberapa pengusaha Palestina mengungkapkan keprihatinannya atas masalah ini, kemudian mengirimkan telegram ke Istambul. Ini dilakukan karena para pengusaha merasa perdagangan akan bisa dimonopoli oleh kaum Yahudi, yang kelak akan menjadi ancaman dalam bidang politik.

Gagasan untuk menjadi gerakan politik ini secara sistematis dibuat oleh Theodor Herzl (1860-1904) dalam bukunya ’der Judenstaat’ (Negara Yahudi) (1896). Buku ini dibuat setelah terjadinya Peristiwa Dreyfus (1894) di Prancis yang mana rakyat banyak meneriakkan ”Matilah Yahudi.” Herzl merasa perlu agar kaum Yahudi memiliki negara sendiri, maka dibuatkan buku tersebut. Ketika buku itu terbit, di dalam internal Yahudi sendiri ada yang mengejek ide Herzl itu. Program yang dikemukakannya ketika itu adalah pengumpulan dana dari orang Yahudi untuk menuju pembentukan negara Yahudi. Ia meminta bantuan kepada beberapa orang kayak Yahudi, namun tidak membuahkan. Tak berapa lama, sekira satu tahun, ia menyelenggarakan Kongres Zionis I di Basel, Swiss (1897) yang mengukuhkan dirinya sebagai pemimpin. Kendati Herzl meninggal pada 1904—44 tahun sebelum negara Yahudi Israel berdiri pada 1948—ia adalah tokoh besar dan disebut sebagai ”Bapak Pendiri Zionisme Modern” dan ”Filosof Yahudi yang memiliki pandangan paling jauh ke depan”
C. Definisi Terorisme
Tidak mudah untuk membuat pengertian terorisme yang dapat diterima secara universal, begitu kata ahli hukum pidana internasional, M.Cherif Bassiouni. Brian Jenkins, mengatakan, “Terorisme merupakan pandangan yang subjektif.” Karena tidak mudah untuk membuat sebuah definisi yang paten, maka definisi terorisme lebih banyak diambil dari subjektifitas orang yang mendefinisikannya. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri pernah membentuk Ad Hoc Committee on Terrorism tahun 1972 yang bersidang selama tujuh tahun, namun tak membuahkan hasil definisi yang paten.
Dalam tulisan ini, kami mengambil beberapa definisi terorisme yang diungkapkan oleh para kamus dan para ahli.

Menurut Black’s Law Dictionary, “Terorisme adalah kegiatan yang melibatkan untur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana (Amerika atau negara bagian Amerika), yang jelas dimaksudkan untuk: a). mengintimidasi penduduk sipil. b). mempengaruhi kebijakan pemerintah. c). mempengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan atau pembunuhan.”

Laqueur (1999), setelah mengkaji lebih dari seratus definisi terorisme, menyimpulkan adanya unsur yang paling menonjol dari definisi-definisi tersebut, yaitu bahwa ciri utama dari terorisme adalah dipergunakannya kekerasan atau ancaman kekerasan. Sementara motivasi politis dalam terorisme dangat bervariasi, karena selain bermotif politis, terorisme seringkali dilakukan karena adanya dorongan fanatisme agama.

AC. Manullang mendefinisikan, “Terorisme adalah suatu cara untuk merebut kekuasaan dari kelompok lain, dipicu antara lain karena adanya pertentangan agama, ideologi, dan etnis serta kesenjangan ekonomi, serta tersumbatnya komunikasi rakyat dengan pemerintah, atau karena adanya paham separatisme dan ideologi fanatisme.”

Jika dilihat dari tiga definisi ini, maka tindakan kaum zionis dalam upaya merebut tanah Palestina dengan mengusir, menyiksa, hingga membantai warga sipil di Palestina, maka hal itu termasuk dalam kategori terorisme. Namun, tetap yang perlu dibedakan antara terorisme dengan perjuangan perlawanan atas penjajahan bangsa lain. Dalam Resolusi PBB Nomor 3103, salah satu point penting yang ditekankan disitu adalah, “Setiap bentuk perjuangan bangsa yang berada di bawah jajahan kekuatan imperialis, kekuatan asing, dan pemerintahan rasis untuk mewujudkan kemerdekaan dan mempertahankan hak menentukan nasib sendiri adalah perjuangan yang sah dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional.” Dari resolusi ini bisa dipahami bahwa perjuangan bangsa Palestina yang ingin memerdekakan dirinya dari imperialisme Zionisme Israel, tidak termasuk dalam kategori terorisme.

D. Motivasi Terorisme
Sebuah pertanyaan ditujukan kepada Theodor Herzl, ”Apakah wilayah yang diperlukan mencapai Beirut atau melewatinya?” Herzl menjawab, ”Kami meminta sesuai kebutuhan kami. Luas wilayah akan terus bertambah seiring dengan pertambahan jumlah pendatang.” Jawaban Herzl dalam pertanyaan ini menandakan bahwa gerakan zionisme termasuk dalam kategori ekspansionisme, memperlebar daerah kolonialnya.

Di bawah ini akan dijelaskan beberapa motif dari gerakan terorisme yang dilakukan oleh zionisme Israel.

1. Penjajahan
Untuk kembali ke tanah yang dijanjikan, menurut keyakinan Yahudi tidak dapat dilaksanakan kecuali dipimpin oleh Al-Masih sang juru selamat, bukan dengan gerakan politik seperti zionisme internasional. Inilah penentangan dari golongan Yahudi sendiri ketika ada gerakan untuk kembali ke tanah Palestina lewat organisasi zionis. Akan tetapi, gerakan zionisme tetap bersikukuh untuk kembali ke tanah yang menurut mereka dijanjikan Tuhan kepada mereka. Untuk kembali, berarti perlu kerjasama dengan unsur lain. Di sinilah motif penjajahan kaum zionis.

Pengamat zionisme, Dr. Haitsam Al-Kailani menyebut gerakan imperialisme ini dengan kata ”Imperialisme Pendudukan.” Ia kemudian mendefinisikannya sebagai, ”Memindahkan penduduk negara imperialis ke wilayah jajahan mereka dan membangun koloni-koloni di tempat baru tersebut tanpa memperhatikan hak-hak penduduk asli.” Rencana ini, membuat penduduk asli akan rentan terhadap tindakan terorisme, terutama pengusiran dan pembantaian. Dan, jika mereka tetap tinggal di koloni tersebut, maka mereka akan menerima perlakuan diskriminatif dan rasis tanpa memperdulikan hak-hak menentukan nasib sendiri. Inilah yang terjadi di Palestina ketika zionisme menyerang dan merampas tanah-tanah mereka.

Motivasi imperialisme ini juga didukung oleh Prancis ketika Napoleon Bonaparte melancarkan serangannya ke Mesir dan Syiria (20 April 1799), sekitar 118 tahun sebelum adanya Deklarasi Balfour. Bonaparte berkata, ”Wahai Bani Israel, wahai bangsa yang terpilih, yang tidak ada kekuatan manapun yang mampu menghapus nama dan keberadaan kalian di muka bumi. Kalian hanya kehilangan tanah leluhur…Prancis menawarkan kepada kalian warisan Israel saat ini juga, di luar berbagai perkiraan yang ada. Wahai para pewaris sah Palestina, kami bangsa yang tidak pernah memperjualbelikan manusia dan negeri…menyeru kalian bukan dengan tujuan menguasai warisan kalian tetapi untuk mengembalikan warisan kalian dengan jaminan, dukungan dan perlindungan penuh kami dari setiap penyusup.”

Motivasi imperialisme kaum zionis ini juga ditegaskan oleh Maxim Roudson dengan ucapannya, ”Pembentukan negara Israel di Palestina adalah salah satu rangkaian gerakan ekspansi besar-besaran yang dilakukan Eropa dan Amerika pada abad ke-19 dan 20 untuk menduduki dan menguasai aspek ekonomi dan politik bangsa-bangsa lain.”

Motivasi ini semakin dikuatkan lagi dengan pernyataan dari tokoh gerakan zionisme sendiri, yaitu Theodor Herzl yang berkata, ”Kita akan membangun benteng untuk melindungi kepentingan Eropa di Asia yang menjadi benteng peradaban yang kokoh menghadapi barbarisme.” Dari kalimat ini menandakan bahwa zionisme sebagai perpanjangan tangan dari imperialisme, untuk menghadapi bangsa-bangsa Timur adalah sebuah fakta nyata.

2. Rasisme
Mempercayai bahwa ras-nya lebih unggul dari bangsa-bangsa lain di dunia ini adalah salah satu karakter dari gerakan zionis. Ini kita kenal dengan nama rasisme. Hal ini didasarkan pada paham bahwa bangsa lain, selain Yahudi—termasuk orang Arab-Palestina—adalah tergolong kaum ’goyyim’ yang lebih rendah derajatnya dari manusia, dan karenanya menurut kaum Yahudi, kaum ’goyyim’ tidak boleh dan tidak dapat diperlakukan sebagai manusia.

Berdasarkan prinsip rasis ini, menurut Z.A. Maulani (2002), dalam bukunya Zionisme: Gerakan Menaklukkan Dunia, kaum Yahudi menghalalkan segala cara, termasuk teorisme sebagai modus operandi utama untuk membangun negara Yahudi. Perihal rasisme ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahkan pernah mengeluarkan Resolusi No. 3379-D/10/11/75 menyatakan bahwa ”Zionisme adalah Gerakan Rasisme.” Resolusi ini dalam perjalanan sejarahnya hanya bisa bertahan selama 15 tahun. Setelah Perang Teluk berakhir pada tahun 1991, atas desakan Amerika Serikat, resolusi tersebut dicabut.

Motivasi keunggulan Yahudi juga diambil dari teori seleksi alam-nya Darwin. Ini dilakukan agar rasisme ini dapat diterima oleh banyak kalangan. Dalam buku Roma dan Jerussalem karya Moses Hess, salah seorang pakar ilmu ras menulis bahwa ras Yahudi adalah ras yang murni dan suci. Dalam buku ini, Hess juga menjelaskan dengan pendekatan ”ilmu tentang manusia dan kebudayaannya” atau antropologi.

Jadi, rencana kembalinya bangsa Yahudi ke tanah Palestina, salah satu motifnya adalah untuk menjaga kemurnian ras Yahudi dalam sebuah tanah yang memang menurut kaum Yahudi telah dijanjikan Tuhan kepada mereka.

E. Metode Terorisme
Terorisme negara zionisme Israel banyak metodenya. Dari penyiksaan fisik, pengusiran, diskriminasi dalam perundang-undangan, hingga pembunuhan dan pembantaian. Agresi demi agresi dilancarkan oleh tentara zionis Israel tanpa pandang bulu. Orang tua, tokoh politik, pejabat pemerintah Palestina, hingga anak-anak juga menjadi korban dari agresi negara Israel.

Setidaknya, ada beberapa metode terorisme yang dilakukan oleh negara Israel sejak berdiri pada 1948 hingga saat ini.

1. Diskriminasi Ras
Dari berbagai kebijakaan Israel, perihal diskriminasi ras begitu nyata di lapangan. Dalam Undang-Undang Kembali (Law of Return) tahun 1950 pada pasal pertama tertulis, ”Setiap warga Yahudi berhak untuk pindah ke Israel.” Ini berarti bahwa semua orang Yahudi dimanapun berada memiliki hak untuk datang ke Palestina dan menjadi penduduk resmi. Sedangkan bagi empat juta warga Arab asli yang dilahirkan di tanah Palestina yang beragama Islam atau Kristen, tidak memiliki hak untuk pulang ke tanah airnya.

Menurut Daud Abdullah, dalam artikelnya di Palestine Times (2001), ini jelas bertentangan dengan article dan 56 Piagam PBB. Bahkan menurut article 80 (1), setiap orang dijamin haknya untuk kembali ke tanah airnya. Olehnya itu maka Komisi HAM PBB dalam resolusi 3379 menyamakan zionisme dengan rasisme.

Dalam Undang-Undang Kewarganegaraan yang disahkan pada 1952 untuk melengkapi undang-undang sebelumnya. Dalam UU ini dijelaskan bahwa penduduk asli Palestina tidak memiliki hak kewarganegaraan, kecuali setelah melalui persyaratan yang panjang, terutama syarat: terbukti tinggal di Israel dari mulai deklarasi Negara Israel hingga tanggal dikeluarkannya UU Kewarganegaraan. Selain itu, juga harus mendapatkan persetujuan Menteri Dalam Negeri serta berbagai persyaratan administratif lainnya.

Dalam Undang-Undang Darurat yang dikeluarkan oleh pemerintah Inggris di Palestina, dijelaskan bahwa tentara Inggris memiliki jangkauan yang sangat luas untuk menahan, menutup kawasan tertentu, menyita barang-barang, memberlakukan jam malam, membatasi perjalanan, mengusir dan mengasingkan ke luar negeri, melarang untuk kembali ke tanah air, membatasi perkumpulan, pembatasan pers, pendidikan, perumahan, pelayanan sosial, pekerjaan, pembuangan kotoran, sarana jalan dan juga air yang diberikan cuma-cuma kepada warga Israel sedangkan Palestina tidak mendapatkan pelayanan yang memadai. Ini dikeluarkan Inggris untuk menghadapi perlawanan Palestina. Kelak, ketika berdiri Negara Israel pada 1948, UU ini diberlakukan kembali.
Selain itu, diskriminasi juga terlihat dari Undang-Undang Pertanahan. Sejak 1948, pemerintah Israel telah melaksanakan penyitaan tanah. Menurut Prof. Israel Shahak, undang-undang ini dibuat untuk memindahkan hak milik atas tanah bukan demi kepentingan penduduk Israel semata, akan tetapi untuk kepentingan seluruh Yahudi yang ada di dunia. Ini dimungkinkan, karena kaum Yahudi di Palestina tetap membutuhkan banyak orang Yahudi menetap di sana, agar kemurnian ras Yahudi tidak bercampur dengan ras lainnya.

2. Pembantaian
Pembantaian pengungsi Palestina di Shabra dan Shatilla adalah salah satu contoh peristiwa tragis dalam sejarah hubungan Israel-Palestina. Dalam peristiwa ini, kurang lebih 3297 orang Palestina tewas. Kebanyakan yang tewas adalah wanita, anak-anak dan orang tua. Pembantaian ini dipimpin oleh Menteri Pertahanan Israel Ariel Sharon pada 1982.

Pembantaian adalah salah satu metode terorisme yang berupaya untuk memberikan efek jera kepada bangsa Palestina. Selain Shabra dan Shatilla, tragedi pembantaian juga telah dilakukan Israel sejak berdiri negara Israel. Pembantaian Balad Al-Syaikh dan Hawasa (1 Januari 1948) terjadi setelah seratusan tentara zionis mengepung dan menyerbu perkampungan Palestina dengan melemparkan bom diringi dengan tembakan.

Secara sistematis, pembantaian yang dilakukan oleh tentara zionis atas penduduk Palestina bisa dilihat dibawah ini:
Tahun Peristiwa Pembantaian
1948 Pembantaian Balad Al-Syaikh dan Hawasa. Dier Yasin, Nashir El-Din, dan Beit Daras
1951 Syarafat
1953 Desa Falma, Qibya.
1954 Nahalin, Dier Ayyub
1955 Gaza, Khan Yunus
1956 Qalqayliya
1982 Shabra dan Shatilla
1994 Haram Al-Ibrahimi
2006 Beit Hanun

3. Pembunuhan
Surat Kabar Israel Haaretz (6 Juni 2006), mengungkapkan bahwa kebijakan pembunuhan oleh bangsa Israel mendampingi kelahiran Negara Israel. Mengutip dari Haaretz, Guru Besar Emiritus dari Binghamton University USA, James Petras dalam bukunya The Power of Israel in USA (hal.147-149) menulis: Pada 27 Desember 1947, Haganah (Tentara Pra-Negara Israel), mengeluarkan satu perintah yang disebut dengan Operasi Zarzir (Burung Jalak). Dalam operasi kita dapat melihat rencana operasional untuk beberapa dekade yang disebut dengan ”pembunuhan bertarget.”

Di sini telah ditentukan siapa saja target yang akan dilenyapkan dalam operasi ini. Haganah sendiri adalah organisasi zionis yang berdiri pada 1921 di Al-Quds di bawah pengawasan Hestedrot (Asosiasi Pekerja Yahudi).

Khalid Meshal, salah seorang pimpinan Hamas, juga pernah diracun oleh Intelijen Israel, Mossad. Perintah ini dikeluarkan langsung oleh PM. Israel Benyamin Netanyahu. Walau pada akhirnya, Meshal selamat setelah mendapatkan penawar racun dari Raja Hussein dari Jordania yang didapatnya dari Israel, setidaknya operasi pembunuhan bertarget adalah salah satu strategi kaum zionis Yahudi untuk mempertahankan eksistensinya di Palestina. Para tokoh perlawanan Palestina memang kerap mendapatkan ”jatah” seperti ini oleh Israel.

Pembunuhan ini juga telah dijalankan kepada para pemimpin besar Palestina seperti Syekh Ahmad Yasin dan Abdul Aziz Rantisi. Keduanya adalah tokoh elit dalam gerakan perlawanan Palestina, Hamas (Harakah al-Muqawwamah al-Islamiyyah). Keduanya dibunuh pada tahun yang sama, Yasin pada Maret sedangkan Rantisi pada April 2004.
============================
Oleh: Yanuardi SyukurAlumnus Politik dan Hubungan Internasional di Timur Tengah UI dan Aktivis Kajian Zionsime Internasional



Posting Komentar

0 Komentar