Pembuktian Akan Ketidakpahaman Penulis
Penulis dari artikel nampaknya kurang
memahami mengenai bagaimana ajaran Buddha terutama tentang perjalanan
hidup dari Siddhartha itu sendiri.
Siddhartha Gautama merupakan putera kepada Raja Suddhodana dan Permaisuri Maha Maya. Raja Suddhodana dari keturunan suku kaum Sakyas, dari keluarga kesatrian dan memerintah Sakyas berdekatan negeri Nepal.
Asita mendapati terdapat 32 tanda utama dan 80 tanda kecil menunjukkan Bodhisatta bakal menjadi Manusia Agung dan Guru Agung kepada manusia dan dewa-dewa (i.e. Jin dan Malaikat, kelemahan umat Hindu dan Buddha ialah tidak dapat bedakan antara jin dan malaikat yang keduanya dipanggil dewa-dewa).
Bantahan Akan Persamaan Siddhartha dan Zulkifli
1. Nama Yang Berbeda
Sudah jelas bahwa dalam ajaran Islam
nabi yang dimaksud bernama Basyar, yang kemudian dipanggil Zulkifli yang
artinya sanggup, karena beliau sanggup menerima persyaratan dari raja
sebelumnya untuk berpuasa di siang hari dan beribadah di malam hari.
Sedangkan dalam literatur Buddha maupun Hindu telah jelas nama dari Sang Buddha adalah Siddhartha, nama yang sangat jauh berbeda dengan Basyar atau Zulkifli, sehingga kemungkinan besar bukanlah orang yang sama. Bahkan setahu saya bahasa Sanskerta yang digunakan oleh Siddhartha tidak mengenal fonem “Z”
2. Hidup Pada Zaman Yang Berbeda
Berdasarkan berbagai sumber yang ada
sebagian besar muslim sepakat bahwa Nabi Zulkifli hidup pada tahun
1500-1425 SM yang artinya beliau hidup lebih dulu dibandingkan dengan
Siddhartha yang kebanyakan sumber-sumbernya mengatakan bahwa beliau
hidup pada sekitar tahun 623 SM
3. Siddhartha Meninggalkan Pemerintahan, Nabi Zulkifli Menjadi Raja
Seperti yang sudah diketahui bahwa
Siddhartha adalah anak kepala suku yang sebelumnya hidup mewah kemudian
memilih untuk meninggalkan pemerintahan itu agar bisa menjadi tahu
bagaimana cara mengakhiri penderitaan, sebaliknya Nabi Zulkifli justru
sebelumnya adalah warga biasa yang kemudian dianggap menjadi Raja.
Keduanya jelas mengalami perjalanan hidup yang berbeda bahkan bisa
dibilang bertolak belakang.
4. Makna Buddha Tidak Sama Dengan Nabi
Pada artikel tersebut terdapat tulisan
yang mengatakan bahwa nabi memiliki makna yang sama dengan buddha,
berikut adalah kutipannya:
Makna “nabi” dalam bahasa Arab berasal dari kata naba yang berarti “dari tempat yang tinggi”; karena itu orang ‘yang di tempat tinggi’ dapat melihat tempat yang jauh. Nabi dalam bahasa Arab sinonim dengan kata Buddha sebagaimana yang dipahami oleh para penganut Buddha. Sinonimnya pengertian ini dapat diringkaskan sebagai “Seorang yang diberi petunjuk oleh Tuhan sehingga mendapat kebijaksanaan yang tinggi menggunung”.
Saya katakan tidak sama. Dalam ajaran Islam, nabi adalah istilah bagi mereka yang mendapatkan wahyu dari Allah untuk wajib disampaikan pada orang lain, sedangkan kata buddha lebih bermakna sebagai orang yang tercerahkan.
Perbedaan yang paling jelas antara nabi dan buddha adalah orang yang menjadi nabi dan rasul adalah atas kehendak Allah yang kodratnya telah ditentukan, sedangkan dalam ajaran Buddha siapa pun bisa menjadi seorang buddha, tidak terbatas dari kelahiran orang tersebut dan waktu dia hidup.
Dalam ajaran Buddha seorang penjahat sekalipun ketika dia telah tercerahkan maka dia bisa menjadi buddha sekalipun ia hidup di zaman modern seperti sekarang. Sedangkan dalam Islam terdapat 4 sifat yang mustahil dilakukan oleh seorang nabi (khizib, khianat, kitman, dan jahlun) sehingga seorang yang dulunya penjahat bisa dipastikan tidak mungkin seorang nabi atau rasul, dan jumlah nabi dalam Islam terbatas oleh waktu dimana Muhammad adalah nabi dan rasul terakhir sehingga tidak mungkin ada nabi di zaman modern seperti saat ini.
5. Siddhartha Tidak Beribadah Pada Siapapun
Sang Buddha bukanlah orang yang bisa
dikatakan sebagai penyembah Tuhan. Jangankan menyembah tuhan, bahkan
membicarakan tuhan pun beliau sangat jarang. Fokus utama ajaran Buddha
adalah tentang bagaimana manusia mengakhiri penderitaan dan mencapai
pencerahan melalui jalan Dharmma, dimana ajaran Dharmma ini bisa dibagi
menjadi 3 pokok utama, yaitu perbanyak perbuatan baik, kurangi perbuatan
jahat, dan mendamaikan diri sendiri melalui meditasi.
Pokok ajaran Buddha tidak berbicara tentang siapa tuhan, bagaimana sifat tuhan, apalagi bagaimana cara menyembahnya. Ajaran Buddha lebih condong ke arah filsafat dan humanisme. Sangat jauh berbeda dengan ajaran Islam yang mengutamakan tauhid dan penyembahan kepada Allah.
Ketika Siddhartha jarang berbicara mengenai tuhan, bagaimana mungkin dia melakukan apa yang dilakukan oleh Nabi Zulkifli yaitu ibadah di malam hari? Seperti apa ibadah yang dilakukan oleh Siddhartha? Jelas ini nampak sangat tidak masuk akal.
6. Kata “Tin” Bukan Bermakna Pohon Bodhi
Penulis dari artikel tersebut
menggunakan cocoklogi dengan mengaitkan Surah At Thiin ayat 1-6,
pendapat dari Dr. Alexander Berzin, dan imajinasinya sendiri. Untuk itu
mari kita lihat terlebih dahulu isi ayat Quran yang dipakai sebagai
acuan :
Dr. Alexander berpendapat bahwa buah Zaitun melambangkan Jerusalem, Isa a.s. (Jesus, Kristian), Bukit Sinai melambangkan Musa a.s. dan Yahudi dan Kota Mekah pula menunjukkan Islam dan Muhammad SAW. Penulis kemudian berimajinasi dengan mengatakan bahwa “tin” bermakna Pohon Bodhi. Masuk akal kah?
Kenapa Al-Qasimi dan Prof. Hamidullah bisa beranggapan bahwa pohon tin bisa disamakan dengan pohon bodhi, dari mana dapat logika seperti itu, sedangkan jelas-jelas kedua pohon tidak memiliki kemiripan yang berarti. Walaupun kedua tanaman berasal dari genus yang sama namun nampak jelas bahwa pohon tin (Ficus carica) dan Pohon Bodhi (Ficus religiosa Linn) memiliki ukuran, buah, dan bentuk daun yang berbeda.
Kesimpulan
Kesimpulannya
jelas, bahwa penulis terlalu memaksakan argumen dan menggunakan
cocoklogi yang sangat lemah, dan mengabaikan faktor-faktor
ketidakcocokan lain yang sangat kuat sehingga pendapat bahwa “Siddhartha
Gautama adalah Nabi Zulkifli” tidak dapat dipercaya.
0 Komentar