Yahudi Bukan Israel, Negara Israel dan Zionis Itu Sama Kejamnya, Perbedaan Yahudi dan Zionisme


Yahudi Bukan Israel  
Penulis: Ammi Nur Baits

Sungguh sangat memprihatinkan, banyak di antara kaum muslimin sering tidak sadar dan lepas kontrol ketika berbicara. Tidak hanya terjadi pada orang awam, bisa kita katakan juga terjadi pada sebagian besar pelajar atau bahkan mereka yang merasa memiliki banyak tsaqafah islamiyah.

Barangkali mereka lupa atau mungkin tidak tahu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:


وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً يَهْوِى بِهَا فِى جَهَنَّم


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya ada seorang hamba mengucapkan satu kalimat yang mendatangkan murka Allah, diucapkan tanpa kontrol akan tetapi menjerumuskan dia ke neraka.” (HR. Al Bukhari 6478)

Al Hafidz Ibn Hajar berkata dalam Fathul Bari ketika menjelaskan hadis ini, yang dimaksud diucapkan tanpa kontrol adalah tidak direnungkan bahayanya, tidak dipikirkan akibatnya, dan tidak diperkirakan dampak yang ditimbulkan. Hal ini semisal dengan firman Allah ketika menyebutkan tentang tuduhan terhadap Aisyah:


وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْد اللَّه عَظِيم


“Mereka sangka itu perkara ringan, padahal itu perkara besar bagi Allah.” (QS. An-Nur: 15)

Oleh karena itu, pada artikel ini -dengan memohon pertolongan kepada Allah- penulis ingin mengingatkan satu hal terkait dengan ayat dan hadis di atas, yaitu sebuah ungkapan penamaan yang begitu mendarah daging di kalangan kaum muslimin, sekali lagi tidak hanya terjadi pada orang awam namun juga terjadi pada mereka yang mengaku paham terhadap tsaqafah islamiyah. Ungkapan yang kami maksud adalah penamaan YAHUDI dengan ISRAEL. Tulisan ini banyak kami turunkan dari sebuah risalah yang ditulis oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafidzhahullah yang berjudul “Penamaan Negeri Yahudi yang Terkutuk dengan Israel”.

Tidak diragukan bahkan seolah telah menjadi kesepakatan dunia termasuk kaum muslimin bahwa negeri yahudi terlaknat yang menjajah Palestina bernama Israel. Bahkan mereka yang mengaku sangat membenci yahudi -sampai melakukan boikot produk-produk yang diduga menyumbangkan dana bagi yahudi- turut menamakan yahudi dengan israel. Akan tetapi sangat disayangkan tidak ada seorang pun yang mengingatkan bahaya besar penamaan ini.

Perlu diketahui dan dicamkan dalam benak hati setiap muslim bahwa ISRAIL adalah nama lain dari seorang Nabi yang mulia, keturunan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yaitu Nabi Ya’qub ‘alaihis salam. Allah ta’ala berfirman:


كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلًّا لِبَنِي إِسْرَائِيلَ إِلَّا مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيلُ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ


“Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan.” (QS. Ali Imran: 93)

Israil yang pada ayat di atas adalah nama lain dari Nabi Ya’qub ‘alaihis salam. Dan nama ini diakui sendiri oleh orang-orang yahudi, sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhu: “Sekelompok orang yahudi mendatangi Nabi untuk menanyakan empat hal yang hanya diketahui oleh seorang nabi. Pada salah satu jawabannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Apakah kalian mengakui bahwa Israil adalah Ya’qub?” Mereka menjawab: “Ya, betul.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ya Allah, saksikanlah.” (HR. Daud At-Thayalisy 2846)

Kata “Israil” merupakan susunan dua kata israa dan iil yang dalam bahasa arab artinya shafwatullah (kekasih Allah). Ada juga yang mengatakan israa dalam bahasa arab artinya ‘abdun (hamba), sedangkan iil artinya Allah, sehingga Israil dalam bahasa arab artinya ‘Abdullah (hamba Allah). (lihat Tafsir At Thabari dan Al Kasyaf ketika menjelaskan tafsir surat Al Baqarah ayat 40)

Telah diketahui bersama bahwa Nabi Ya’qub adalah seorang nabi yang memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah ta’ala. Allah banyak memujinya di berbagai ayat al Qur’an. Jika kita mengetahui hal ini, maka dengan alasan apa nama Israil yang mulia disematkan kepada orang-orang yahudi terlaknat. Terlebih lagi ketika umat islam menggunakan nama ini dalam konteks kalimat yang negatif, diucapkan dengan disertai perasaan kebencian yang memuncak; Biadab Israil… Israil bangsat… Keparat Israil… Atau dimuat di majalah-majalah dan media massa yang dinisbahkan pada islam, bahkan dijadikan sebagai Head Line News; Israil membantai kaum muslimin… Agresi militer Israil ke Palestina… Israil penjajah dunia…. Dan seterusnya… namun sekali lagi, yang sangat fatal adalah ketika hal ini diucapkan tidak ada pengingkaran atau bahkan tidak merasa bersalah.

Mungkin perlu kita renungkan, pernahkah orang yang mengucapkan kalimat-kalimat di atas merasa bahwa dirinya telah menghina Nabi Ya’qub ‘alaihis salam? pernahkah orang-orang yang menulis kalimat ini di majalah-majalah yang berlabel islam dan mengajak kaum muslimin untuk mengobarkan jihad, merasa bahwa dirinya telah membuat tuduhan dusta kepada Nabi Ya’qub ‘alaihis salam? mengapa mereka tidak membayangkan bahwasanya bisa jadi ungkapan-ungkapan salah kaprah ini akan mendatangkan murka Allah  wal ‘iyaadzu billaah  karena isinya adalah pelecehan dan tuduhan bohong kepada Nabi Ya’qub ‘alaihis salam. Mengapa tidak disadari bahwa Nabi Ya’qub ‘alaihis salam tidak ikut serta dalam perbuatan orang-orang yahudi dan bahkan beliau berlepas diri dari perbuatan mereka yang keparat. Pernahkah mereka berfikir, apakah Nabi Israil ‘alaihis salam ridha andaikan beliau masih hidup?!

Allah ta’ala berfirman:


وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا


“Orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al Ahzab: 58)

Allah menyatakan, menyakiti orang mukmin biasa laki-laki maupun wanita sementara yang disakiti tidak melakukan kesalahan dianggap sebagai perbuatan dosa, bagaimana lagi jika yang disakiti adalah seorang Nabi yang mulia, tentu bisa dipastikan dosanya lebih besar dari pada sekedar menyakiti orang mukmin biasa.

Satu hal yang perlu disadari oleh setiap muslim, penamaan negeri yahudi dengan Israil termasuk salah satu di antara sekian banyak konspirasi (makar) yahudi terhadap dunia. Mereka tutupi kehinaan nama asli mereka YAHUDI dengan nama Bapak mereka yang mulia Nabi Israil ‘alaihis salam. Karena bisa jadi mereka sadar bahwa nama YAHUDI telah disepakati jeleknya oleh seluruh dunia, mengingat Allah telah mencela nama ini dalam banyak ayat di Al-Qur’an.

Kita tidak mengingkari bahwa orang-orang yahudi merupakan keturunan Nabi Israil ‘alaihis salam, akan tetapi ini bukan berarti diperbolehkan menamakan yahudi dengan nama yang mulia ini. Bahkan yang berhak menyandang nama dan warisan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan para nabi yang lainnya adalah kaum muslimin dan bukan yahudi yang kafir. Allah ta’ala berfirman:


مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ


“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Ali Imran: 67)


إن أولى الناس بإبراهيم للذين اتبعوه وهذا النبي والذين آمنوا والله ولي المؤمنين


“Sesungguhnya orang yang paling berhak terhadap Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini, beserta orang-orang yang beriman, dan Allah adalah Pelindung semua orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imran: 68)

Semoga Allah memberikan taufik kepada kita dan seluruh kaum muslimin untuk mengucapkan dan melakukan perbuatan yang dicintai dan di ridai oleh Allah ta’ala.


“Sedikitpun kami tidak berniat menghina Nabi Ya’qub ‘alaihis salam dalam penggunaan kalimat-kalimat ini sebaliknya, yang kami maksud adalah yahudi…”

Barangkali ini salah satu pertanyaan yang akan dilontarkan oleh sebagian kaum muslimin ketika menerima nasihat ini. Maka jawaban singkat yang mungkin bisa kita berikan: Justru inilah yang berbahaya, seseorang melakukan sesuatu yang salah namun dia tidak sadar kalau dirinya sedang melakukan kesalahan. Bisa jadi hal ini tercakup dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas. Bukankah semua pelaku perbuatan bid’ah tidak berniat buruk ketika melakukan kebid’ahannya, namun justru inilah yang menyebabkan dosa perbuatan bid’ah tingkatannya lebih besar dari melakukan dosa besar.

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah di Mekkah, Orang-orang musyrikin Quraisy mengganti nama Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Mudzammam (manusia tercela) sebagai kebalikan dari nama asli Beliau Muhammad (manusia terpuji). Mereka gunakan nama Mudzammam ini untuk menghina dan melaknat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. misalnya mereka mengatakan; “terlaknat Mudzammam”, “terkutuk Mudzammam”, dan seterusnya. Dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merasa dicela dan dilaknat, karena yang dicela dan dilaknat orang-orang kafir adalah “Mudzammam” bukan “Muhammad”, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


ألا تعجبون كيف يصرف الله عني شتم قريش ولعنهم يشتمون مذمماً ويلعنون مذمماً وأنا محمد



“Tidakkah kalian heran, bagaimana Allah mengalihkan dariku celaan dan laknat orang Quraisy kepadaku, mereka mencela dan melaknat Mudzammam sedangkan aku Muhammad.” (HR. Ahmad & Al Bukhari)

Meskipun maksud orang Quraisy adalah mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun karena yang digunakan bukan nama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Beliau tidak menilai itu sebagai penghinaan untuknya. Dan ini dinilai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bentuk mengalihkan penghinaan terhadap dirinya. Oleh karena itu, bisa jadi orang-orang Yahudi tidak merasa terhina dan dijelek-jelekkan karena yang dicela bukan nama mereka namun nama Nabi Ya’qub ‘alaihis salam.

Di samping itu, Allah juga melarang seseorang mengucapkan sesuatu yang menjadi pemicu munculnya sesuatu yang haram. Allah melarang kaum muslimin untuk menghina sesembahan orang-orang musyrikin, karena akan menyebabkan mereka membalas penghinaan ini dengan menghina Allah ta’ala. Allah berfirman:


وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ


“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa ilmu.” (QS. Al An’am: 108)

Allah ta’ala melarang kaum muslimin yang hukum asalnya boleh atau bahkan disyari’atkan – menghina sesembahan orang musyrik  karena bisa menjadi sebab orang musyrik menghina Allah subhanahu wa ta’ala. Dan kita yakin dengan seyakin-yakinnya, tidak mungkin para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang menyaksikan turunnya ayat ini memiliki niatan sedikitpun untuk menghina Allah ta’ala. Maka bisa kita bayangkan, jika ucapan yang menjadi sebab celaan terhadap kebenaran secara tidak langsung saja dilarang, bagaimana lagi jika celaan itu keluar langsung dari mulut kaum muslimin meskipun mereka tidak berniat untuk menghina Nabi Israil ‘alaihis salam.


Cuma sebatas istilah, yang pentingkan esensinya… bahkan para ulama’ memiliki kaidah “Tidak perlu memperdebatkan istilah.”

Di atas telah dipaparkan bahwa menamakan negeri yahudi dengan Israil merupakan celaan terhadap Nabi Israil ‘alaihis salam, baik langsung maupun tidak langsung, baik diniatkan untuk mencela maupun tidak, semuanya dihitung mencela Nabi Israil ‘alaihis salam tanpa terkecuali. Dan kaum muslimin yang sejati selayaknya tidak meremehkan setiap perbuatan dosa atau perbuatan yang mengundang dosa. Karena dengan meremahkannya akan menyebabkan perbuatan yang mungkin nilainya kecil menjadi besar. Sebagaimana dijelaskan oleh sebagian ulama bahwa di antara salah satu penyebab dosa kecil menjadi dosa besar adalah ketika pelakunya meremehkan dosa kecil tersebut.

Bahkan kita telah memahami bahwa mencela, menghina, melakukan tuduhan dusta kepada seorang Nabi adalah dosa besar. Akankah hal ini kita anggap ini biasa?! Sekali lagi, akan sangat membahayakan bagi seseorang, ketika dia mengucapkan satu kalimat yang mendatangkan murka Allah, sementara dia tidak sadar. Mereka sangka itu perkara ringan, padahal itu perkara besar bagi Allah. (QS. An-Nur: 15)

Untuk kaidah “Tidak perlu memperdebatkan istilah”, kita tidak mengingkari keabsahan kaidah ini mengingat ungkapan tersebut merupakan kaidah yang masyhur di kalangan para ulama’. Akan tetapi maksud kaidah ini tidaklah melegalkan penamaan Yahudi dengan Israel. Karena kaidah ini berlaku ketika makna istilah tersebut sudah diketahui tidak menyimpang, sebagaimana yang dipaparkan oleh Abu Hamid Al Ghazali dalam bukunya Al Mustashfaa fi Ilmil Ushul.

Istilah Israil untuk negeri yahudi telah menjadi konsensus (kesepakatan) dunia. Kita cuma ikut-ikutan.



Setiap kaum muslimin selayaknya berusaha menjaga syi’ar-syi’ar islam, misalnya dengan belajar bahasa arab (baik lisan maupun tulisan), menghafalkan Al Qur’an, dan termasuk dalam hal ini adalah membiasakan diri untuk menggunakan istilah-istilah yang Allah gunakan dalam Al Qur’an atau dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama istilah tersebut dapat dipahami orang lain.

Sebagai bentuk pemeliharaan terhadap syi’ar islam, para sahabat terutama Umar Ibn Al Khattab radhiyallahu ‘anhu sangat menekankan agar umat islam mempelajari bahasa arab. Beliau pernah mengatakan: “Pelajarilah bahasa arab, karena itu bagian dari agama kalian.” Beliau juga mengatakan: “Hati-hati kalian dengan bahasa selain bahasa arab.” Umar radhiyallahu ‘anhu membenci kaum muslimin membiasakan diri dengan berbicara selain bahasa arab tanpa ada kebutuhan, dan ini juga yang dipahami oleh para sahabat lainnya radhiyallahu ‘anhum. Mereka (para sahabat radhiyallahu ‘anhum) menganggap bahasa arab sebagai konsekuensi agama, sedangkan bahasa yang lainnya termasuk syi’ar kemunafikan. Karena itu, ketika para sahabat berhasil menaklukkan satu negeri tertentu, mereka segera mengajarkan bahasa arab kepada penduduknya meskipun penuh dengan kesulitan. (lihat Muqaddimah Iqtidla’ Shirathal Mustaqim, Syaikh Nashir al ‘Aql)

Dalam bahasa arab, waktu sepertiga malam yang awal dinamakan ‘atamah. Orang-orang arab badui di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kebiasaan menamai shalat Isya’ dengan nama waktu pelaksanaan shalat isya’ yaitu ‘atamah. Kebiasaan ini kemudian diikuti oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum dengan menamakan shalat isya’ dengan shalat ‘atamah. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka melalui sabdanya:


لا يغلبنكم الأعراب على اسم صلاتكم فإنها العشاء إنما يدعونها العتمة لإعتامهم بالإبل لحلابها


“Janganlah kalian ikut-ikutan orang arab badui dalam menamai shalat kalian, sesungguhnya dia adalah shalat Isya’, sedangkan orang badui menamai shalat isya dengan ‘atamah karena mereka mengakhirkan memerah susu unta sampai waktu malam.” (HR. Ahmad, dinyatakan Syaikh Al Arnauth sanadnya sesuai dengan syarat Muslim)

Al Quthuby mengatakan: “Agar nama shalat isya’ tidak diganti dengan nama selain yang Allah berikan, dan ini adalah bimbingan untuk memilih istilah yang lebih utama bukan karena haram digunakan dan tidak pula menunjukkan bahwa penggunaan istilah ‘atamah tidak diperbolehkan, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menggunakan istilah ini dalam hadisnya…” (‘Umdatul Qori Syarh Shahih Al Bukhari karya Al ‘Aini)

Demikianlah yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat dalam menjaga syi’ar islam. Sampai menjaga istilah-istilah yang diberikan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal penggunaan istilah asing dalam penamaan shalat isya’ tidak sampai derajat haram, karena tidak mengandung makna yang buruk.

Lalu dengan apa kita menamai mereka? Kita menamai mereka sebagaimana nama yang Allah berikan dalam Al-Qur’an, YAHUDI dan bukan ISRAEL. Dan sebagaimana disampaikan di atas, hendaknya setiap muslim membiasakan diri dalam menamakan sesuatu sesuai dengan yang Allah berikan. Hendaknya kita namakan orang-orang yang mengaku pengikut Nabi Isa ‘alahis salam dengan NASRANI bukan KRISTIANI, kita namakan hari MINGGU dengan AHAD bukan MINGGU, kita namakan shalat dengan SHALAT bukan SEMBAHYANG dan seterusnya selama itu bisa dipahami oleh orang yang diajak bicara, sebagai bentuk penghormatan kita terhadap syi’ar-syi’ar agama islam. Wallaahu waliyyut taufiiq.


Negara Israel dan Zionis Itu Sama Kejamnya

 
Negara Israel dan Zionis itu sama kejamnya, didalam kitab Talmud mereka sudah disebutkan sebagai berikut :

“Hanya orang-orang Yahudi yang manusia, sedangkan orang-orang non Yahudi bukanlah manusia, melainkan binatang.” (Kerithuth 6b hal.78, Jebhammoth 61a)

“Orang-orang non-Yahudi diciptakan sebagai budak untuk melayani orang-orang Yahudi.” (Midrasch Talpioth 225)

“Angka kelahiran orang-orang non-Yahudi harus ditekan sekecil mungkin.” (Zohar II, 4b)

“Orang-orang non-Yahudi harus dijauhi, bahkan lebih daripada babi yang sakit.” (Orach Chaiim 57, 6a)

“Tuhan (Yahweh) tidak pernah marah kepada orang-orang Yahudi, melainkan hanya (marah) kepada orang-orang non-Yahudi.” (Talmud IV/8/4a)

“Orang-orang Yahudi harus selalu berusaha untuk menipudaya orang-orang non-Yahudi.” (Zohar I, 168a)

“Setiap orang Yahudi boleh menggunakan kebohongan dan sumpah palsu untuk membawa seorang non-Yahudi kepada kejatuhan.” (Babha Kama 113a)

“Orang Yahudi boleh mengeksploitasi kesalahan orang non-Yahudi dan menipunya.” (Talmud IV/1/113b)

Inilah sebagian kecil dari ayat-ayat hitam Talmud. Inilah landasan ideologis kaum Zionis dalam hidupnya. Setiap hari Sabtu yang dianggap suci (Shabbath), mereka mendaras Talmud sepanjang hari dan mengkaji ayat-ayat di atas. Mereka menganggap Yahudi sebagai ras yang satu-satunya berhak disebut manusia. Sedangkan ras di luar Yahudi mereka anggap sebagai binatang, termasuk orang-orang liberalis yang malah melayani kepentingan kaum Zionis.

Dalam satu taklimnya, Ustadz Abdul Hakim menyinggung masalah ini dan berkata yang maknanya, “ummat Islam melakukan kekeliruan ketika mereka para pendemo atau sejenisnya marah atas tidakan zionis dengan mengeluarkan kata-kata hinaan terhadap “Israil” mereka berkata Israil terlaknat, Israil kejam dll kalimat sejenisnya.  mereka tidak sadar bahwa kata “Israil” adalah kata yang hanya dinisbatkan kepada “Nabi Yaqub alaihi wa sallam”

Orang-orang Yahudi menyukai jika mereka disebut sebagai Negara Israil dan kemudian ummat Islam terperdaya dengan ikut-ikutan menyebut demikian.

Sesungguhnya para pencela itu tidak sadar bahwa langsung maupun tidak langsung mereka telah mencela salah seorang yang paling utama yakni seorang Rasul Yaqub alaihi wa sallam.  karena saat mencela mereka jelas jelas menulis “ISRAIL LAKNATULLAH, ISRAEL BIADAB, ISRAEL KEJAM, ISRAEL PEMBUNUH, dst” berbagai hujatan sebagai tindakan protes tindakan kejam Negara Israel.

Sedangkan Allah telah menisbatkan Nama Israil hanya kepada Nabi Yaqub alaihi wa sallam.  alangkah kelirunya mereka.

“Seharusnya mereka berkata : YAHUDI LAKNATULLAH (karena kalimat ini juga disebutkan Nabi ketika beliau berkata yang maknanya : Laknat Allah atas (orang-orang) Yahudi dan Nasharani karena menjadikan kubur Nabi-Nabi mereka sebagai masjid”, Yahudi pembunuh (Krn Alloh menjelaskan bhw mereka pernah membunuh ratusan Nabi dalam satu hari kemudian siangnya mereka berdagang), dll. . . Jangan menyebutkan “Israil”,  kalaupun mau maka dengan kata yg tidak dipisah yakni “NEGARA ISRAEL” atau "ZIONIS ISRAEL” karena jika disatukan kata tsb maka merujuknya kepada negara yahudi sekarang ini yg mereka sebarkan dg nama negara Israel. . . adapun jika hanya Israel saja maka sadar atau tidak mereka telah mencela seorang Nabi dan Rosul yang mulia, sedangkan orang yang mencela Rasul (setelah sampai padanya hujjah) maka dihukumi dia kafir. . .

Inilah yang ana fahami dari penjelasan Ustadz Abdul Hakim dan lainnya serta Fatwa Syaikh Rabi bin Hadi Hafidzhulloh Ta’ala :


Keterangan:

Hukum Menamai Negeri Yahudi dengan Israel

Fadhilatul ‘Allamah Dr. Rabi’ bin Hadi bin ‘Umair Al-Madkhali menjelaskan:

الحمد لله ، والصلاة والسلام على رسول الله ، وعلى آله وصحبه ومن اتبع هداه. أما بعد

Di sana ada sebuah fenomena aneh yang tersebar di tengah-tengah kaum muslimin, yaitu penamaan negeri Yahudi yang dimurkai dengan nama Israel. Dan saya belum melihat seorang pun yang mengingkari fenomena yang berbahaya ini[1]. Sebuah fenomena yang menyinggung kemuliaan seorang rasul yang mulia, salah satu dari pemimpin para rasul, yaitu Ya’qub[2] ‘alaihish shalatu wassalam, yang dipuji oleh Allah bersama kedua ayahnya yang mulia, Ibrahim dan Ishaq di dalam kitab-Nya yang mulia dengan firman-Nya:

وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُولِي الأَيْدِي وَالأَبْصَارِ . إِنَّا أَخْلَصْنَاهُم بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى الدَّارِ . وَإِنَّهُمْ عِندَنَا لَمِنَ الْمُصْطَفَيْنَ الأَخْيَارِ.

“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang Tinggi. Sesungguhnya kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (Shad: 45-47)

Inilah kedudukan seorang rasul yang mulia ini, maka bagaimana mungkin beliau dikaitkan dengan orang-orang yahudi dan orang yahudi dikaitkan dengan beliau!?

Kebanyakan kaum muslimin menyebutkan negeri ini dalam konteks celaan, misalnya mengatakan ‘Israel berbuat demikian’, ‘Israel melakukan tindakan demikian dan demikian’, dan ‘Israel akan berbuat demikian’. Dan ini -menurut pandangan saya- adalah kemungkaran yang tidak boleh terjadi di tengah-tengah kaum muslimin, terlebih lagi jika menjadi sebuah fenomena yang telah tersebar di tengah-tengah mereka tanpa ada pengingkaran.

Dari sinilah kami lontarkan pertanyaan ini dan sekaligus jawabannya. Kami katakan:

‘Bolehkah memberi nama negeri Yahudi -yang kafir lagi jahat- dengan Isra’il atau Negara Israel yang kemudian ketika mengarahkan kecaman dan celaan kepadanya, menyebutkan nama Israel!?

Yang benar adalah hal itu tidak boleh, dan sungguh orang-orang Yahudi telah membuat makar yang sangat besar ketika menjadikan haknya sebagai hak yang sesuai syari’at di dalam mendirikan negara untuk menggulingkan negeri-negeri muslimin atas nama warisan Nabi Ibrahim, dan juga Nabi Isra’il. Mereka (Yahudi) juga telah membuat makar yang amat besar di dalam penamaan terhadap negerinya As-Suhaiwaniyyah dengan nama

negara Israel, dan tipu daya mereka telah mengalahkan kaum muslimin -saya tidak mengatakan mengalahkan kalangan awam saja bahkan para cendikia pun juga-.

Mereka menyebutkan negara Israel, bahkan (mencatut) nama Nabi Isra’il di dalam berita-berita, surat kabar-surat kabar, majalah-majalah, dan pembicaraan-pembicaraan mereka, baik dalam konteks murni berita maupun dalam konteks kecaman, celaan, dan bahkan laknat. Semua itu terjadi di tengah-tengah kaum muslimin, dan sangat memprihatinkan sekali kami tidak mendengar satu pengingkaran pun terhadapnya.

Sungguh Allah subhanahu wata’ala telah mencela orang-orang Yahudi di dalam banyak ayat-ayat Al-Qur’an, melaknat mereka, dan memberitakan kepada kita kemurkaan-Nya atas mereka dengan menyebutkan nama Yahudi, dan nama orang-orang kafir dari Bani Isra’il, bukan atas nama Isra’il, seorang nabi yang mulia -Ya’qub-, putra seorang yang mulia -Ishaq Nabiyullah-, putra seorang yang mulia -Ibrahim Khalilullah ‘alaihimush shalatu wassalam.

Orang-orang Yahudi tidak memiliki kaitan keagamaan dengan Nabiyullah Isra’il -Ya’qub ‘alaihis salam-, dan tidak juga dengan Ibrahim Khalilullah ‘alaihish shalatu wassalam, dan mereka juga tidak memiliki hak terhadap agama warisan kedua Nabi tersebut, akan tetapi (warisan agama keduanya) itu hanya khusus bagi kaum mukminin saja. Allah ta’ala berfirman:

إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِإِبْرَاهِيمَ لَلَّذِينَ اتَّبَعُوهُ وَهَذَا النَّبِيُّ وَالَّذِينَ آمَنُواْ وَاللهُ وَلِيُّ الْمُؤْمِنِينَ.

“Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan nabi ini (Muhammad), beserta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah pelindung semua orang-orang yang beriman.” (Ali ‘Imran: 68)

Dan Allah berfirman -dalam rangka membersihkan Khalil-Nya, Ibrahim dari agama Yahudi, Nashrani, dan musyrikin :

مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلاَ نَصْرَانِيًّا وَلَكِن كَانَ حَنِيفًا مُّسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ.

“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.” (Ali ‘Imran: 67)

Kaum muslimin tidaklah mengingkari bahwa Yahudi adalah anak cucu nabi Ibrahim dan Isra’il, akan tetapi mereka (muslimin) menetapkan bahwa Yahudi termasuk musuh-musuh Allah dan para Rasul-Nya, di antaranya: Muhammad, Ibrahim, dan Isra’il ‘alaihimush shalatu wassalam, dan mereka juga menetapkan bahwa tidak ada warisan antara para nabi dengan musuh-musuh mereka dari kalangan orang-orang kafir, baik Yahudi, Nashara, atau dari kalangan musyrikin arab dan selain mereka. Sesungguhnya orang yang paling dekat dengan Ibrahim dan seluruh para nabi adalah kaum muslimin yang beriman kepada mereka, mencintai dan memuliakan mereka, beriman dengan segala yang diturunkan kepada mereka berupa kitab-kitab dan shuhuf, dan kaum muslimin menganggap hal itu merupakan pokok agama mereka, mereka adalah para pewaris para nabi dan orang-orang yang paling dekat dengan mereka.

Bumi Allah ini hanyalah diperuntukkan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman kepada-Nya, dan kepada para Rasul yang mulia. Allah ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِن بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ . إِنَّ فِي هَذَا لَبَلاغًا لِّقَوْمٍ عَابِدِينَ . وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ.

“Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauhul Mahfuzh, bahwasanya bumi ini diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang shalih. Sesungguhnya (apa yang disebutkan) dalam (Surat) ini, benar-benar menjadi peringatan bagi kaum yang beribadah (kepada Allah). Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Al-Anbiya’: 105-107)

Musuh-musuh para nabi tidak memiliki warisan di muka bumi ini, -terlebih orang-orang Yahudi- di dunia ini, dan di akhirat bagi mereka siksa neraka yang kekal. Dan sangat mengherankan kondisi mayoritas kaum muslimin yang menerima klaim Yahudi bahwa mereka adalah pewaris negeri Palestina, dan mencari Haikal Sulaiman yang mereka (Yahudi) mengkufurinya dan menuduhnya dengan tuduhan yang keji. Mereka (orang-orang Yahudi) adalah paling keras permusuhannya terhadap Nabi Sulaiman dan selain beliau para nabi dari kalangan Bani Isra’il. Allah ta’ala berfirman:

أَفَكُلَّمَا جَاءَكُمْ رَسُولٌ بِمَا لاَ تَهْوَى أَنفُسُكُمُ اسْتَكْبَرْتُمْ فَفَرِيقاً كَذَّبْتُمْ وَفَرِيقًا تَقْتُلُونَ.

“Apakah setiap datang kepadamu seorang Rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombong, maka beberapa orang (di antara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh?” (Al-Baqarah: 87)

Bagaimana bisa sebagian kaum muslimin -minimalnya dengan perbuatan mereka- menerima klaim yang batil ini!? Dan bersamaan dengan itu mereka pun juga menamai negeri Yahuid dengan Isra’il, dan dengan nama Negara Israel!

Dan -demi Allah- tidak pernah ada seharipun mereka lebih berhak atas kaum mukminin dalam warisan agama Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, para rasul, dan yang mengamalkan risalah mereka itulah wali-wali Allah, wali-wali para nabi dan para rasul-Nya.

Hendaknya kaum muslimin mengembalikan jati diri mereka dalam akidah dan manhajnya dengan bersumber dari Kitabullah, sunnah Nabi mereka shallallahu ‘alaihi wasallam, dan prinsip beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, para shahabatnya, orang-orang yang mengikutinya dengan baik dari generasi terbaik tabi’in, para ulama yang senantiasa memberikan bimbingan dalam agama ini. Ini merupakan sebab terbesar datangnya pertolongan Allah kepada mereka dalam menghadapi musuh-musuhnya, dan sebab datangnya kejayaan bagi mereka, kebahagiaan, dan kemuliaan di dunia dan akhirat.

Dan hendaknya kaum muslimin juga membersihkan tangan-tangan mereka dari jeratan hawa nafsu dan bid’ah, sikap fanatik terhadap kebatilan dan para pengusungnya, kemudian hendaknya mereka berusaha dengan sungguh-sungguh di dalam mempersiapkan perlengkapan berupa persenjataan dengan segala bentuknya, dan hal-hal yang mendukung itu semua berupa perhatian dan pelatihan terhadap pasukan, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah ta’ala berfirman:

وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا اسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ وَمِن رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ.

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu.” (Al-Anfal: 60)

Dan kekuatan yang disebutkan di dalam ayat ini mencakup semua bentuk kekuatan yang bisa menggentarkan musuh dari berbagai bentuk persenjataan.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


ألا إن القوة الرمي . ألا إن القوة الرمي . ألا إن القوة الرمي


“Ketahuilah bahwasanya kekuatan itu adalah lemparan, ketahuilah bahwasanya kekuatan itu adalah lemparan, ketahuilah bahwasanya kekuatan itu adalah lemparan.”

Ar-Ramyu (lemparan) dalam hadits tersebut adalah termasuk di dalamnya segala bentuk senjata yang digunakan untuk melempar (menembak, menusuk, memukul, dsb), semua itu harus didapatkan, baik dengan membuatnya, atau dengan membelinya, atau dengan selain keduanya.

Dan sungguh -sekali lagi- saya sangat terheran dengan adanya penetapan nama Nabi yang mulia lagi terhormat ini terhadap sebuah negeri yang jahat, umat yang dimurkai, dan umat yang sangat pendusta. Disebutkanlah negeri tersebut ketika membicarakan tentangnya, ketika menyebutkan berita tentangnya, atau ketika mencelanya dengan Isra’il dan atau Negara Israel. Seolah-olah bahasa Islam dan bahasa arab yang luas ini telah menjadi sempit bagi mereka, sehingga mereka tidak mendapatkan nama kecuali nama ini. Kemudian apakah mereka (muslimin) memikirkan hal ini? Apakah ini diridhai Allah atau Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam!? Dan apakah juga diridhai oleh nabiyullah Isra’il, atau bahkan sebaliknya, sesuatu yang menyakitkan hati beliau seandainya beliau hidup!?

Tidakkah mereka tahu bahwa celaan dan cercaan yang mereka tujukan kepada Yahudi dengan menyebutkan nama beliau (Isra’il) akan bisa tertuju kepada beliau sendiri dalam keadaan mereka tidak menyadarinya!?

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ألا تعجبون كيف يصرف الله عني شتم قريش ولعنهم !؟ يشتمون مذممًا ويلعنون مذممًا ، وأنا محمد.

“Tidakkah kalian heran bagaimana Allah menghindarkan aku dari celaan dan laknat Quraisy!? Mereka mencela dan melaknat, sedangkan aku adalah Muhammad.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari di dalam shahihnya no. 3533, dan An Nasa’i).

Maka bagaimana kalian bisa memalingkan celaan, laknat, dan cercaan kalian terhadap musuh Allah kepada nama seorang nabi yang mulia di antara para nabi Allah dan rasul-Nya, serta makhluk pilihan-Nya!?

Jika ada yang mengatakan bahwa yang semisal dengan penetapan ini ada juga di dalam Taurat!

Maka kami katakan: sangat mungkin ini merupakan salah satu perubahan yang dilakukan Ahlul Kitab, sebagaimana yang Allah saksikan tentang mereka bahwa mereka telah mengubah Al-Kitab dengan tangan-tangan mereka sendiri kemudian mereka menyatakan: ini dari Allah. Bahkan di dalam Taurat yang sudah diubah-ubah pun juga terdapat tuduhan terhadap para nabi dengan kekufuran dan kekejian, maka bagaimana mungkin bisa bersandar dan berhujjah dengan kitab mereka yang demikian kondisinya!?

Kita memohon kepada Allah agar memberikan taufiq-Nya kepada kaum muslimin semuanya untuk bisa menjalankan hal-hal yang dicintai dan diridhai-Nya, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan. Sesungguhnya Rabb kita Maha Mendengar do’a.
_____________________

[1] Permasalahan seperti ini pernah juga difatwakan oleh Asy-Syaikh Shalih bin Muhammad Al-Luhaidan (lihat http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=379). Sehingga Asy-Syaikh Rabi’ menyatakan ungkapan seperti ini ada kemungkinan beliau belum mengetahui adanya fatwa Asy-Syaikh Shalih Al-Luhaidan tersebut, atau mungkin juga beliau lebih dahulu dalam menyampaikan fatwa ini sebelum Asy-Syaikh Shalih Al-Luhaidan. Wallahu a’lam.
[2] Isra’il adalah nama lain bagi nabiyullah Ya’qub ‘alaihissalam. Orang-orang Yahudi bermaksud menyandarkan nama negara mereka dengan nama beliau ‘alaihissalam ini. Dan kemudian nama ini lebih dikenal di kalangan masyarakat internasional dengan Israel, transliterasi bahasa dari Isra’il.

“Satu hal yang perlu disadari oleh setiap muslim, penamaan negeri yahudi dengan Israil termasuk salah satu di antara sekian banyak konspirasi (makar) yahudi terhadap dunia. Mereka tutupi kehinaan nama asli mereka YAHUDI dengan nama Bapak mereka yang mulia Nabi Israil ‘alaihis salam. Karena bisa jadi mereka sadar bahwa nama YAHUDI telah disepakati jeleknya oleh seluruh dunia, mengingat Allah telah mencela nama ini dalam banyak ayat di Al-Qur’an.”

Jadi penulis sendiri tahu bahwa asal mula penamaan Israel adalah dari Yahudi sendiri, dan secara Hukum International Nama Negara Mereka adalah Israel.

Tidak ada nama Negara Yahudi. karena yang dibicarakan adalah Negara jadi disebut ” Palestina dengan Israel ” dari sudut pandang ini apakah tetap hal ini kesalahan Fatal ?

”Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah di Mekkah, Orang-orang musyrikin Quraisy mengganti nama Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Mudzammam (manusia tercela) sebagai kebalikan dari nama asli Beliau Muhammad (manusia terpuji). Mereka gunakan nama Mudzammam ini untuk menghina dan melaknat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. misalnya mereka mengatakan; “terlaknat Mudzammam”, “terkutuk Mudzammam”, dan seterusnya. Dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merasa dicela dan dilaknat, karena yang dicela dan dilaknat orang-orang kafir adalah “Mudzammam” bukan “Muhammad”, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


ألا تعجبون كيف يصرف الله عني شتم قريش ولعنهم يشتمون مذمماً ويلعنون مذمماً وأنا محمد


“Tidakkah kalian heran, bagaimana Allah mengalihkan dariku celaan dan laknat orang Quraisy kepadaku, mereka mencela dan melaknat Mudzammam sedangkan aku Muhammad.” (HR. Ahmad & Al Bukhari) ”

Dalam hadits diatas yang menyebut Mudzammam adalah orang Quraisy, nabi tidak menyebut dirinya dengan nama ”itu” jadi berbeda kasusnya dengan Yahudi yang meyebut dirinya sendiri dengan ”Israel“.

apakah relevan menggunakan hadits ini untuk kasus ini? padahal kasusnya berbeda?


Perbedaan Yahudi dan Zionisme

Tulisan ini disadur dari karya Harun Yahya yg berjudul "Antara Zionisme dan Yahudi"

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, sikap toleransi yang wajib diperlihatkan kaum Muslimin terhadap orang-orang ahli kitab telah terbukti sepanjang sejarah Islam. Selama berabad-abad, umat Islam memperlakukan kaum Yahudi dengan sangat bersahabat dan mereka menyambut persahabatan ini dengan kesetiaan. Namun, hal yang telah merusak keadaan ini adalah Zionisme.

Zionisme muncul pada abad ke-19. Dua hal yang menjadi ciri menonjol Eropa abad ke-19, yakni rasisme dan kolonialisme, telah pula berpengaruh pada Zionisme. Ciri utama lain dari Zionisme adalah bahwa Zionisme adalah ideologi yang jauh dari agama. Orang-orang Yahudi, yang merupakan para mentor ideologis utama dari Zionisme, memiliki keimanan yang lemah terhadap agama mereka. Bahkan, kebanyakan dari mereka adalah ateis. Mereka menganggap agama Yahudi bukan sebagai sebuah agama, tapi sebagai nama suatu ras. Mereka meyakini bahwa masyarakat Yahudi mewakili suatu ras tersendiri dan terpisah dari bangsa-bangsa Eropa. Dan, karenanya, mustahil bagi orang Yahudi untuk hidup bersama mereka, sehingga bangsa Yahudi memerlukan tanah air tersendiri bagi mereka.

Hingga saat kemunculan Zionisme di Timur Tengah, ideologi ini tidak mendatangkan apapun selain pertikaian dan penderitaan. Dalam masa di antara dua perang dunia, berbagai kelompok teroris Zionis melakukan serangan berdarah terhadap masyarakat Arab dan Inggris. Di tahun 1948, menyusul didirikannya negara Israel, strategi perluasan wilayah Zionisme telah menyeret keseluruhan Timur Tengah ke dalam kekacauan.

Titik awal dari Zionisme yang melakukan segala kebiadaban ini bukanlah agama Yahudi, tetapi Darwinisme Sosial, sebuah ideologi rasis dan kolonialis yang merupakan warisan dari abad ke-19. Darwinisme Sosial meyakini adanya perjuangan atau peperangan yang terus-menerus di antara masyarakat manusia. Dengan mengindoktrinasikan ke dalam otak mereka pemikiran “yang kuat akan menang dan yang lemah pasti terkalahkan”, ideologi ini telah menyeret bangsa Jerman kepada Nazisme, sebagaimana orang-orang Yahudi kepada Zionisme.

Kini, banyak kaum Yahudi agamis, yang menentang Zionisme, mengemukakan kenyataan ini. Sebagian dari para Yahudi taat ini bahkan tidak mengakui Israel sebagai negara yang sah dan, oleh karenanya, menolak untuk mengakuinya. Negarawan Israel Amnon Rubinstein mengatakan: “Zionisme adalah sebuah pemberontakan melawan tanah air (Yahudi) mereka dan sinagog para Pendeta Yahudi”. (Amnon Rubinstein, The Zionist Dream Revisited, hlm. 19)

Pendeta Yahudi, Forsythe, mengungkapkan bahwa sejak abad ke-19, umat Yahudi telah semakin jauh dari agama dan perasaan takut kepada Tuhan. Kenyataan inilah yang pada akhirnya menimpakan hukuman dalam bentuk tindakan kejam Hitler (kepada mereka), dan kejadian ini merupakan seruan kepada kaum Yahudi agar lebih mentaati agama mereka. Pendeta Forsythe menyatakan bahwa kekejaman dan kerusakan di bumi adalah perbuatan yang dilakukan oleh Amalek (Amalek dalam bahasa Taurat berarti orang-orang yang ingkar kepada Tuhan), dan menambahkan: “Pemeluk Yahudi wajib mengingkari inti dari Amalek, yakni pembangkangan, meninggalkan Taurat dan keingkaran pada Tuhan, kebejatan, amoral, kebiadaban, ketiadaan tata krama atau etika, ketiadaan wewenang dan hukum.” (Rabbi Forsythe, A Torah Insight Into The Holocaust, http://www.shemayisrael.com/rabbiforsythe/holocaust.)

Zionisme, yang tindakannya bertentangan dengan ajaran Taurat, pada kenyataannya adalah suatu bentuk fasisme, dan fasisme tumbuh dan berakar pada keingkaran terhadap agama, dan bukan dari agama itu sendiri. Karenanya, yang sebenarnya bertanggung jawab atas pertumpahan darah di Timur Tengah bukanlah agama Yahudi, melainkan Zionisme, sebuah ideologi fasis yang tidak berkaitan sama sekali dengan agama.

Akan tetapi, sebagaimana yang terjadi pada bentuk-bentuk fasisme yang lain, Zionisme juga berupaya untuk menggunakan agama sebagai alat untuk meraih tujuannya.

Penafsiran Taurat yang Keliru oleh Kaum Zionis

Taurat adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Musa. Allah mengatakan dalam Alquran : “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi),…” (QS. Al-Maa-idah, 5:44). Sebagaimana pula dinyatakan dalam Alquran, isi Taurat di kemudian hari telah dirubah dengan penambahan perkataan manusia. Itulah mengapa di zaman sekarang telah dijumpai “Taurat yang telah dirubah”.

Namun, pengkajian terhadap Taurat mengungkap keberadaan inti ajaran-ajaran Agama yang benar di dalam Kitab yang pernah diturunkan ini. Banyak ajaran-ajaran yang dikemukakan oleh Agama yang benar seperti keimanan kepada Allah, penyerahan diri kepada-Nya, bersyukur kepada-Nya, takut kepada Allah, mencintai Allah, keadilan, cinta, kasih sayang, menentang kebiadaban dan kedzaliman tertulis dalam Taurat dan bagian-bagian lain dari Kitab Perjanjian Lama.

Selain itu, peperangan yang terjadi sepanjang sejarah dan pembantaian yang terjadi ini dikisahkan dalam Taurat. Jika seseorang berniat untuk mendapatkan dalil  meskipun dengan cara membelokkan fakta-fakta yang ada  untuk membenarkan tindakan keji, pembantaian dan pembunuhan, ia dapat dengan mudah mengambil bagian-bagian ini dalam Taurat sebagai rujukan untuk kepentingan pribadinya. Zionisme menempuh cara ini untuk membenarkan tindakan terorismenya, yang sebenarnya adalah terorisme fasis, dan ia sangat berhasil. Sebagai contoh, Zionisme telah menggunakan bagian-bagian yang berhubungan dengan peperangan dan pembantaian dalam Taurat untuk melegitimasi pembantaian yang dilakukannya terhadap warga Palestina tak berdosa. Ini adalah penafsiran yang tidak benar. Zionisme menggunakan agama sebagai alat untuk membenarkan ideologi fasis dan rasisnya.

Sungguh, banyak orang-orang Yahudi taat yang menentang penggunaan bagian-bagian Taurat ini sebagai dalil yang membenarkan pembantaian yang dilakukan terhadap warga Palestina sebagai tindakan yang benar. The Neturie Karta, sebuah organisasi Yahudi Ortodoks anti Zionis, menyatakan bahwa, nyatanya, “menurut Taurat, umat Yahudi tidak diizinkan untuk menumpahkan darah, mengganggu, menghina atau menjajah bangsa lain”. Mereka menekankan lebih jauh bahwa, “para politikus Zionis dan rekan-rekan mereka tidak berbicara untuk kepentingan masyarakat Yahudi, nama Israel telah dicuri oleh mereka”. (Rabbi E. Schwartz, Advertisement by Neturei Karta in New York Times, 18 Mei 1993)

Dengan menjalankan kebijakan biadab pendudukan atas Palestina di Timur Tengah dengan berkedok “agama Yahudi”, Zionisme sebenarnya malah membahayakan agama Yahudi dan masyarakat Yahudi di seluruh dunia, dan menjadikan warga Israel atau Yahudi diaspora sebagai sasaran orang-orang yang ingin membalas terhadap Zionisme

Musim panas tahun 1982 menjadi saksi atas kebiadaban luar biasa yang menyebabkan seluruh dunia berteriak dan mengutuknya dengan keras. Tentara Isrel memasuki wilayah Lebanon dalam suatu serbuan mendadak, dan bergerak maju sambil menghancurkan sasaran apa saja yang nampak di hadapan mereka. Pasukan Israel ini mengepung kamp-kamp pengungsi yang dihuni warga Palestina yang telah melarikan diri akibat pengusiran dan pendudukan oleh Israel beberapa tahun sebelumnya. Selama dua hari, tentara Israel ini mengerahkan milisi Kristen Lebanon untuk membantai penduduk sipil tak berdosa tersebut. Dalam beberapa hari saja, ribuan nyawa tak berdosa telah terbantai.

Terorisme biadab bangsa Israel ini telah membuat marah seluruh masyarakat dunia. Tapi, yang menarik adalah sejumlah kecaman tersebut justru datang dari kalangan Yahudi, bahkan Yahudi Israel sendiri. Profesor Benjamin Cohen dari Tel Aviv University menulis sebuah pernyataan pada tanggal 6 Juni 1982:

Saya menulis kepada anda sambil mendengarkan radio transistor yang baru saja mengumumkan bahwa ‘kita’ sedang dalam proses ‘pencapaian tujuan-tujuan kita’ di Lebanon: yakni untuk menciptakan ‘kedamaian’ bagi penduduk Galilee. Kebohongan ini sungguh membuat saya marah. Sudah jelas bahwa ini adalah peperangan biadab, lebih kejam dari yang pernah ada sebelumnya, tidak ada kaitannya dengan upaya yang sedang dilakukan di London atau keamanan di Galilee…Yahudi, keturunan Ibrahim…. Bangsa Yahudi, mereka sendiri menjadi korban kekejaman, bagaimana mereka dapat menjadi sedemikian kejam pula? … Keberhasilan terbesar bagi Zionisme adalah de-Yahudi-isasi bangsa Yahudi. ("Professor Leibowitz calls Israeli politics in Lebanon Judeo-Nazi" Yediot Aharonoth, 2 Juli 1982)

Benjamin Cohen bukanlah satu-satunya warga Israel yang menentang pendudukan Israel atas Lebanon. Banyak kalangan intelektual Yahudi yang tinggal di Israel yang mengutuk kebiadaban yang dilakukan oleh negeri mereka sendiri.

Pensikapan ini tidak hanya tertuju pada pendudukan Israel atas Lebanon. Kedzaliman Israel atas bangsa Palestina, keteguhan dalam menjalankan kebijakan penjajahan, dan hubungannya dengan lembaga-lembaga semi-fasis di bekas rejim rasis Apartheid di Afrika Selatan telah dikritik oleh banyak tokoh intelektual terkemuka di Israel selama bertahun-tahun. Kritik dari kalangan Yahudi sendiri ini tidak terbatas hanya pada berbagai kebijakan Israel, tetapi juga diarahkan pada Zionisme, ideologi resmi negara Israel.

Ini menyatakan apa yang sesungguhnya terjadi: kebijakan pendudukan Israel atas Palestina dan terorisme negara yang mereka lakukan sejak tahun 1967 hingga sekarang berpangkal dari ideologi Zionisme, dan banyak Yahudi dari seluruh dunia yang menentangnya.

Oleh karena itu, bagi umat Islam, yang hendaknya dipermasalahkan adalah bukan agama Yahudi atau bangsa Yahudi, tetapi Zionisme.

Sebagaimana gerakan anti-Nazi tidak sepatutnya membenci keseluruhan masyarakat Jerman, maka seseorang yang menentang Zionisme tidak sepatutnya menyalahkan semua orang Yahudi.

Asal Mula Gagasan Rasis Zionisme

Setelah orang-orang Yahudi terusir dari Yerusalem pada tahun 70 M, mereka mulai tersebar di berbagai belahan dunia. Selama masa ‘diaspora’ ini, yang berakhir hingga abad ke-19, mayoritas masyarakat Yahudi menganggap diri mereka sebagai sebuah kelompok masyarakat yang didasarkan atas kesamaan agama mereka. Sepanjang perjalanan waktu, sebagian besar orang Yahudi membaur dengan budaya setempat, di negara di mana mereka tinggal. Bahasa Hebrew hanya tertinggal sebagai bahasa suci yang digunakan dalam berdoa, sembahyang dan kitab-kitab agama mereka. Masyarakat Yahudi di Jerman mulai berbicara dalam bahasa Jerman, yang di Inggris berbicara dengan bahasa Inggris. Ketika sejumlah larangan dalam hal kemasyarakatan yang berlaku bagi kaum Yahudi di negara-negara Eropa dihapuskan di abad ke-19, melalui emansipasi, masyarakat Yahudi mulai berasimilasi dengan kelompok masyarakat di mana mereka tinggal. Mayoritas orang Yahudi menganggap diri mereka sebagai sebuah ‘kelompok agamis’ dan bukan sebagai sebuah ‘ras’ atau ‘bangsa’. Mereka menganggap diri mereka sebagai masyarakat atau orang ‘Jerman Yahudi’, ‘Inggris Yahudi, atau ‘Amerika Yahudi’.

Namun, sebagaimana kita pahami, rasisme bangkit di abad ke-19. Gagasan rasis, terutama akibat pengaruh teori evolusi Darwin, tumbuh sangat subur dan mendapatkan banyak pendukung di kalangan masyarakat Barat. Zionisme muncul akibat pengaruh kuat badai rasisme yang melanda sejumlah kalangan masyarakat Yahudi.

Kalangan Yahudi yang menyebarluaskan gagasan Zionisme adalah mereka yang memiliki keyakinan agama sangat lemah. Mereka melihat “Yahudi” sebagai nama sebuah ras, dan bukan sebagai sebuah kelompok masyarakat yang didasarkan atas suatu keyakinan agama.

Mereka mengemukakan bahwa Yahudi adalah ras tersendiri yang terpisah dari bangsa-bangsa Eropa, sehingga mustahil bagi mereka untuk hidup bersama, dan oleh karenanya, mereka perlu mendirikan tanah air mereka sendiri. Orang-orang ini tidak mendasarkan diri pada pemikiran agama ketika memutuskan wilayah mana yang akan digunakan untuk mendirikan negara tersebut. Theodor Herzl, bapak pendiri Zionisme, pernah mengusulkan Uganda, dan rencananya ini dikenal dengan nama ‘Uganda Plan’. Kaum Zionis kemudian menjatuhkan pilihan mereka pada Palestina. Alasannya adalah Palestina dianggap sebagai ‘tanah air bersejarah bangsa Yahudi’, dan bukan karena nilai relijius wilayah tersebut bagi mereka.

Para pengikut Zionis berusaha keras untuk menjadikan orang-orang Yahudi lain mau menerima gagasan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama mereka ini. Organisasi Yahudi Dunia, yang didirikan untuk melakukan propaganda masal, melakukan kegiatannya di negara-negara di mana terdapat masyarakat Yahudi. Mereka mulai menyebarkan gagasan bahwa orang-orang Yahudi tidak dapat hidup secara damai dengan bangsa-bangsa lain dan bahwa mereka adalah suatu ‘ras’ tersendiri; dan dengan alasan ini mereka harus pindah dan bermukim di Palestina. Sejumlah besar masyarakat Yahudi saat itu mengabaikan seruan ini.

Dengan demikian, Zionisme telah memasuki ajang politik dunia sebagai sebuah ideologi rasis yang meyakini bahwa masyarakat Yahudi tidak seharusnya hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain. Di satu sisi, gagasan keliru ini memunculkan beragam masalah serius dan tekanan terhadap masyarakat Yahudi yang hidupnya tersebar di seluruh dunia. Di sisi lain, bagi masyarakat Muslim di Timur Tengah, hal ini memunculkan kebijakan penjajahan dan pencaplokan wilayah oleh Israel, pertumpahan darah, kematian, kemiskinan dan teror.

Banyak kalangan Yahudi saat ini yang mengecam ideologi Zionisme. Rabbi Hirsch, salah seorang tokoh agamawan Yahudi terkemuka, mengatakan:

‘Zionisme berkeinginan untuk mendefinisikan masyarakat Yahudi sebagai sebuah bangsa .... ini adalah sesuatu yang menyimpang (dari ajaran agama)’. (Washington Post, 3 Oktober 1978)

Seorang pemikir terkemuka, Roger Garaudy, menulis tentang masalah ini:

Musuh terbesar bagi agama Yahudi adalah cara berpikir nasionalis, rasis dan kolonialis dari Zionisme, yang lahir di tengah-tengah (kebangkitan) nasionalisme, rasisme dan kolonialisme Eropa abad ke-19. Cara berpikir ini, yang mengilhami semua kolonialisme Barat dan semua peperangannya melawan nasionalisme lain, adalah cara berpikir bunuh diri. Tidak ada masa depan atau keamanan bagi Israel dan tidak ada perdamaian di Timur Tengah kecuali jika Israel telah mengalami “de-Zionisasi” dan kembali pada agama Ibrahim, yang merupakan warisan spiritual, persaudaraan dan milik bersama dari tiga agama wahyu: Yahudi, Nasrani dan Islam. (Roger Garaudy, "Right to Reply: Reply to the Media Lynching of Abbe Pierre and Roger Garaudy", Samizdat, Juni 1996)

Dengan alasan ini, kita hendaknya membedakan Yahudi dengan Zionisme. Tidak setiap orang Yahudi di dunia ini adalah seorang Zionis. Kaum Zionis tulen adalah minoritas di dunia Yahudi. Selain itu, terdapat sejumlah besar orang Yahudi yang menentang tindakan kriminal Zionisme yang melanggar norma kemanusiaan. Mereka menginginkan Israel menarik diri secara serentak dari semua wilayah yang didudukinya, dan mengatakan bahwa Israel harus menjadi sebuah negara bebas di mana semua ras dan masyarakat dapat hidup bersama dan mendapatkan perlakuan yang sama, dan bukan sebagai ‘negara Yahudi’ rasis.

Kaum Muslimin telah bersikap benar dalam menentang Israel dan Zionisme. Tapi, mereka juga harus memahami dan ingat bahwa permasalahan utama bukanlah terletak pada orang Yahudi, tapi pada Zionisme.(Sumber : http://us1.harunyahya.com/Detail/T/EDCRFV/productId/4465/ANTARA_ZIONISME_DAN_YAHUDI)








Posting Komentar

0 Komentar